Minggu, 22 Mei 2011

Kotagede

Kotagede sebagai kota tua yang sisi kehidupan tradisionalnya mampu berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan modern, jadi di Kotagede terus tumbuh dan berkembang sebagaimana kebudayaan yang menjadi nafas kehidupan juga terus tumbuh dan berkembang secara dinamis. Kehidupan budaya di Kotagede semakin lama makin menjadi kaya karenanya dan atas peran serta masyarakatnya.

Ciri khas sebagai sebuah kota tradisional Jawa yang berbudaya maka Kotagede tidak lepas dari tata kota Jawa yaitu kraton, masjid besar, alun-alun, dan pasar tradisional sebagai pusat perekonomian rakyat. Saat ini, hanya ada dua elemen yang tersisa dari kejayaan Mataram tersebut yaitu Masjid Besar Mataram dan Pasar Kotagede. Alun-alun tidak lagi dapat dijumpai karena telah berubah menjadi sebuah pemukiman padat yang terkenal dengan nama kampung Alun-alun, sedangkan kraton Mataram tidak lagi ditemukan sisa-sisanya, hanya ada sebuah kampung yang terletak di sebelah selatan kampung Alun-alun yang bernama kampung Ndalem dan Kraton Mataram diduga pernah berdiri di situ. Pasar Kotagede yang sampai sekarang kondisi fisiknya telah mengalami beberapa kali renovasi tapi masih tetap bercirikan pasar tradisional yang memiliki hari pasaran Jawa, yaitu pada hari Legi yang terhitung pada hari Jawa dalam hitungan lima hari sekali. Suasana pasar yang sangat rame mampu menciptakan kemacetan di jalan yang melintas di depan pasar pada waktu hari pasaran tersebut. Hal ini sudah terjadi semenjak Ki Ageng Pemanahan membuka hutan dan meramaikannya dengan membawa para kerabat dan pengikutnya untuk menghuni di tempat baru itu. Setelah menjadi kerajaan, wilayah itu dilengkapi oleh para pembantu raja, abdi dalem yang siap melayani kebutuhan raja Mataram dan keluarganya, termasuk dalam memenuhi kebutuhan perhiasan dan perlengkapan rumah tangga. Banyak abdi yang bekerja sebagai pengrajin emas, perak, dan tembaga untuk memenuhi kebutuhan istana. Hal tersebut sebagaimana telah dituliskan oleh Tim Peneliti Lembaga Studi Jawa dalam buku Kotagede Pesona dan Dinamika Sejarahnya (1997:69) yaitu sebagai berikut:

Kalangan masyarakat Kotagede muncul tukang-tukang yang membuat hasil karyanya untuk keperluan kraton. Misalnya barang-barang dari emas, perak, batik, kulit. Bahkan pada masa pemerintahan Sultan Agung, orang yang mempunyai keahlian dibidang perkayuan (pertukangan) dirangkul bekerja untuk membuat bangunan kraton. Ahli perkayuan ini disebut wong Kalang, semula diperlakukan sebagai orang yang pernah melakukan kesalahan, tetapi sudah dimaafkan oleh raja. Mereka kebanyakan sangat pandai mengelola uang dan harta benda. Setelah jaman kerajaan surut maka orang Kalang inlah terkenal sebagia pengusaha angkutan, usaha rumah gadai, dan usaha lain yang bersifat bisnis.

Selain suasana pasar yang sangat menarik dan membentuk citra khas Kotagede, masjid Besar Mataram Kotagede pun merupakan sebuah tempat yang paling menarik perhatian mayarakat ataupun wisatawan karena masjid tersebut tidak hanya merupakan sebuah bangunan rumah ibadah saja melainkan dari sisi kehadiran bentuk fisik bangunannya mengandung nilai ekspresi yang terkait dalam kebudayaan seni kriya sebagai hasil karya budaya masyarakat jaman kerajaan Mataram, yaitu di buktikan dengan bentuk-bentuk komponen masjid seperti bentuk-bnrtuk benteng, tembok, gapura, dan pintu yang dihiasi ukiran ornament yang mempunyai makna filosofi Jawa serta penduduk sekitar yang merupakan kawasan kampung pengrajin perak. Pembangunan masjid itu diprakarsai langsung oleh Raja Mataram pada tahun 1640-an, yaitu Sultan Agung atau Pangeran Rangsang. Proses pembangunannya dilakukan secara gotong royong bersama masyarakat yang kebanyakan memeluk agama Hindu dan Budha sehingga arsitekturnya pun banyak mengadopsi corak khas arsitektur Hindu dan Budha. Masjid Besar Mataram Kotagede ini merupakan sebuah tempat yang dipenuhi nilai historis tinggi yaitu ditunjukan bahwa sebelum memasuki kompleks masjid akan ditemui sebuah pohon beringin yang usianya sudah ratusan tahun dan dulunya ditanam oleh Sunan Kali Jaga sebagai pertanda daerah yang akan dibangun kerajaan. Pohon itu tumbuh di lokasi yang kini dimanfaatkan untuk tempat parkir. Karena usianya yang tua, penduduk setempat menamainya "Wringin Sepuh" dan menganggapnya mendatangkan berkah. Keinginan seseorang, menurut cerita, akan terpenuhi bila mau bertapa di bawah pohon tersebut hingga mendapatkan dua lembar daun jatuh, satu tertelungkup dan satu lagi terlentang.

Berjalan mendekat ke arah kompleks masjid, akan ditemui sebuah gapura yang bernama Paduraksa. Bentuk gapura tersebut seperti bangunan Hindu yang atapnya bertingkat lima dan terbuat dari batu bata yang disusun rapi sehingga bentuknya semakin ke atas semakin mengecil dan beberapa ornamen ukiran menghiasinya. Pintu gapuranya terbuat dari kayu jati dengan beberapa motif ornamen ukiran yang menghiasinya. Pada bagian depan gapura ada sebuah tembok berbentuk huruf L. Tembok itu terdapat beberapa bentuk ornamen ukiran yang menghiasi tembok tersebut. Bentuk gapura Paduraksa dan tembok L itu adalah wujud toleransi Sultan Agung pada warga yang ikut membangun masjid yang masih memeluk agama Hindu dan Budha. Di halaman masjid akan dijumpai perbedaan pada tembok yang mengelilingi bangunan masjid. Tembok bagian kiri terdiri dari batu bata yang ukurannya lebih besar, warna yang lebih merah, serta terdapat batu seperti marmer yang di permukaannya ditulis aksara Jawa dan berbagai jenis ukiran ornamen. Sementara tembok yang lain memiliki batu bata berwarna agak muda, ukuran lebih kecil, dan polos. Tembok yang ada di kiri masjid itulah yang dibangun pada masa Sultan Agung, sementara tembok yang lain merupakan hasil renovasi Paku Buwono X. Tembok yang dibangun pada masa Sultan Agung berperekat air aren yang dapat membatu kekuatan tembok tersebut.

Di halaman masjid terdapat sebuah prasasti yang berwarna hijau. Prasasti yang mempunyai tinggi 3 meter itu merupakan pertanda bahwa Paku Buwono pernah merenovasi masjid Besar Mataram. Bagian dasar prasasti berbentuk bujur sangkar dan di bagian puncaknya terdapat mahkota lambang Kasunanan Surakarta. Sebuah jam diletakkan di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu sholat.

Bentuk bangunan inti Masjid merupakan jenis bangunan tradisional jawa yang disebut dengan tajug. Pada dasarnya bentuk bangunan tajug ini hampir sama dengan bangunan joglo, bedanya bentuk bangunan tajug tidak memiliki molo, jadi atapnya tidak berujung tetapi lancip atau runcing. Atap dibuat demikian diartikan sebagai lambang keAbadian Tuhan dan keEsaan Tuhan. Bangunan ini menggunakan saka guru sebanyak empat buah, atapnya empat belah sisi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982:61). Dalam bangunan inti masjid ini juga memiliki variasi ukiran ornamen yang menghiasi pada pintu masuk masjid dan mihrab yang diperindah dengan tiang pada bagian atasnya mempunyai sekumpulan bingkai. Di atas bingkai ini terdapat papan dari kayu jati yang penuh dengan ukir-ukiran dengan motif ornamen sulur daun.

Di dalam masjid sebelah mihrab tempat imam memimpin sholat terdapat mimbar untuk berkhotbah yang terbuat dari bahan kayu yang diukir indah dengan bentu-bentuk ornamen ragam hias. Mimbar tersebut merupakan pemberian adipati Palembang. Saat Sultan Agung menunaikan ibadah haji, ia mampir ke Palembang untuk menjenguk salah satu adipati di tempat itu. Sebagai penghargaannya, adipati Palembang memberikan mimbar tersebut. Mimbar itu kini jarang digunakan karena sengaja dijaga agar tidak rusak. Sebagai pengganti mimbar warga setempat menggunakan mimbar kecil untuk kepentingan ibadah sehari-hari.

Ornamen ragam hias pada Masjid Besar Mataram Kotagede Yogyakarta mencerminkan masyarakat Kotagede dari sejak dulu sangat respon sekali terhadap nilai seni, yaitu ditunjukkan dengan penerapan berbagai unsur ragam hias guna memperindah suasana. Penerapan berbagai ornamen tersebut tidak hanya untuk memperindah suasana saja tapi selain itu mengandung nilai-nilai filosofis jawa. Pada pengerjaan ornamen ragam hias tersebut dapat dilihat bagaimana kecermatan dan penempatan bentuk-bentuk motif sangat diperhatikan. Pengolahan bentuk pada setiap motif-motif ornamen dan kebermaknaan ornamen tersebut cukup menarik untuk dibahas karena hal tersebut merupakan aspek kekriyaan di kompleks masjid Besar Mataram dan saksi bisu bahwa Kotagede pernah menjadi sebuah Ibu Kota pada jaman kerajaan Mataram, sehingga nilai-nilai budayanya masih kental dengan dibuktikannya beberapa peninggalan hasil kebudayaan yang berupa bangunan atau ragam hias ornamen ukiran yang mengandung nilai estetis serta kebudayaan masyarakat sebagai kampung pengrajin perak Kotagede.

Jumat, 02 Oktober 2009